Pada Kompas 29 April 1997 J. Drost SJ mengemukakan permasalahan
pengajaran sains di sekolah menengah dan di perguruan tinggi.
Berdasarkan pengamatannya, sains sebagai ilmu murni termasuk mata
pelajaran atau mata kuliah yang tidak disukai oleh siswa atau mahasiswa.
Nilai paling rendah selalu untuk sains, dan bahkan mahasiswa sains pun
cenderung memilih mata kuliah fisika teoritis dan kimia teoritis, yang
lebih dekat dengan matematika. Matematika, menurut kesimpulannya,
bukanlah momok. Kebanyakan pengajar sains pun malah mematematikakan
sains. Mekanika gaya lama dikatakannya sebagai matematika bergambar
hias.
Membaca tulisan Drost tersebut, muncul kesan bahwa matematika
seolah-olah hanya merupakan sekumpulan aksioma, rumus, dan dalil belaka.
Matematika, seperti halnya bidang-bidang studi lain selain sains, hanya
merupakan sekumpulan fakta (what) dan cara bertindak (how) yang dapat
dihafalkan tanpa harus memahami mengapa (why) semua itu dapat terjadi.
Sebagai seorang matematikawan, saya tergelitik untuk menanggapi tulisan
tersebut, khususnya mengenai matematika itu sendiri dan permasalahan
sekitar pengajarannya.
Jika sains memang telah diajarkan sebagai ‘matematika bergambar
hias’, apalagi diajarkan oleh seorang pengajar yang tidak begitu
mendalami matematika, maka saya turut prihatin. Namun, jika benar bahwa
siswa atau mahasiswa lebih menyukai matematika daripada sains, walaupun
matematika baginya hanyalah merupakan sekumpulan rumus dan dalil yang
tidak perlu dipusingkan mengapa semua itu berlaku, maka saya —sebagai
matematikawan— merasa agak lega. Karena selama ini justru saya
beranggapan bahwa matematika termasuk momok yang mengerikan bagi siswa
sejak di sekolah dasar sampai di perguruan tinggi. Berdasarkan
pengalaman saya mengajar di perguruan tinggi selama beberapa tahun,
nilai matematika justru selalu paling rendah, lebih rendah daripada
nilai fisika atau kimia, misalnya. Apa masalahnya?
Permasalahan dalam pengajaran matematika muncul sejak di sekolah
dasar. Matematika hanya diajarkan bahkan sebagai simbol-simbol tak
bermakna, tak berguna, dan tak ada hubungannya dengan dunia nyata.
Keempat operasi aritmetika dasar diajarkan, lebih tepatnya dijejalkan
kepada siswa, lengkap dengan sifat-sifat dasarnya, pada tahun-tahun
pertama. Soal seperti “25 keping uang Rp 5,- bernilai sama dengan 5
keping uang Rp …?” ditanyakan kepada siswa kelas I SD yang belum
mengenal perkalian! Maksudnya barangkali menerapkan sifat komutatif
perkalian dalam kehidupan sehari-hari, namun si Guru lupa bahwa keping
uang Rp 5,- sudah hilang dari peredaran, sementara keping uang Rp 25,-
pun semakin sulit dicari sekarang ini. Siswa kemudian menganggap bahwa
matematika itu jauh dari dunia nyata, karena soal-soalnya sering
mengada-ada.
Mengajar matematika, baik di sekolah dasar maupun di perguruan
tinggi, dapat menjadi pekerjaan yang sulit, apalagi bila pengajar tidak
mempunyai wawasan yang luas tentang matematika. Dalam mengajar acap kali
kita perlu memberi motivasi kepada siswa atau mahasiswa dan untuk itu
kita harus mencari soal-soal yang menarik dan relevan dengan kehidupan
sehari-hari (atau dengan bidang ilmu yang sedang dituntut oleh
mahasiswa). Pekerjaan ini bisa dikatakan gampang-gampang susah. Dengan
beban kurikulum yang begitu berat, guru sering kali terjebak mengejar
materi ajar. Akhirnya, yang terjadi adalah matematika diajarkan sebagai
sekumpulan rumus dan dalil belaka, disertai dengan contoh-contoh soal
apa adanya.
Matematika, sesungguhnya, ada di sekitar kita. Bilangan, objek
matematika yang paling mendasar, dipakai di mana-mana untuk menandai
tanggal, menyatakan usia, ukuran, peringkat, menomori rumah, kendaraan
bermotor, rekening bank, halaman buku, dan sebagainya. Keempat operasi
aritmetika dasar, yakni penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian, banyak muncul dalam persoalan sehari-hari. Perkalian,
misalnya, dilakukan apabila kita ingin menghitung dengan cepat banyaknya
kursi yang berjejer dalam 6 baris, masing-masing terdiri dari 8 kursi,
katakan.
Banyaknya kursi tersebut dapat dihitung sebagai 6 x 8 atau 8 x 6, dan
sifat komutatif pun naik ke permukaan. Kuadrat dan akar juga tidak jauh
dari persoalan sehari-hari. Jika panjang ruas garis AB adalah x cm, dan
panjang ruas garis BC yang tegak lurus pada ruas garis AB adalah y cm,
maka panjang ruas garis AC dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Pythagoras, yakni (x2+y2)1/2 cm. Matematika tingkat tinggi tersembunyi
di balik pesawat telepon, televisi, komputer, kulkas, dan peralatan
lainnya di dalam rumah kita sendiri.
Matematika, dalam perkataan sederhana, tidak lain adalah pemodelan
(simbolisasi, kuantisasi, dan/atau matematisasi) dari berbagai fenomena
alam dan persoalan nyata. Di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan apa
(what), mengapa (why), dan bagaimana (how). Rumus dan dalil tidak
begitu saja turun dari langit, namun sering kali diperoleh melalui
proses yang panjang dan berliku. Rumus dan dalil ini menjadi penting
karena fungsinya sebagai jembatan: ketika kita berada di mulut jembatan,
maka dengan rumus atau dalil tersebut kita sampai di seberang jembatan,
tanpa harus meniti jembatan tersebut! Matematika merupakan cara
berpikir atau bernalar (atau cara berhitung untuk anak sekolah dasar),
cara atau bahasa untuk memahami berbagai pola, struktur, gejala, atau
fenomena. Matematika mutlak diperlukan untuk memahami sains, bukan untuk
mengubah sains menjadi matematika bergambar hias!
Matematika sendiri juga bertumbuh sebagai ilmu yang kaya dengan
berbagai teori. Ada yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
ada pula yang tidak atau belum diketahui penerapannya. Tidak sedikit
cabang matematika yang pada mulanya berkembang tanpa kaitan dengan
persoalan nyata namun di kemudian hari ternyata mempunyai penerapan
dalam kehidupan sehari-hari seiring dengan kemajuan teknologi.
(Cabang-cabang matematika tertentu bertumbuh lebih cepat daripada
keperluannya!) Teori bilangan, aljabar Boole (Boolean algebra), dan
matematika kabur (fuzzy mathematics) adalah beberapa di antaranya, yang
penerapannya dapat dijumpai dalam kriptografi atau teori sandi,
komputer, dan kulkas.
Pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana juga muncul dalam matematika
teoritis sekalipun. Misalnya, dalam teori matriks, kita bertanya apa itu
determinan, mengapa atau untuk apa kita mempelajari determinan,
bagaimana menghitung determinan sebuah matriks? Katakan kita mempunyai
sebuah matriks n x n, lalu kita hitung determinannya. Setelah itu kita
tambahkan k kali baris ke-i ke baris ke-j, sehingga kita peroleh sebuah
matriks baru, lalu kita hitung pula determinannya. Ternyata hasilnya
sama dengan perhitungan sebelumnya. Apa yang telah terjadi? Apakah itu
hanya suatu kebetulan atau suatu fenomena umum? Adakah fenomena yang
lain?
Dalam belajar matematika, seperti mungkin dalam belajar ilmu lainnya
juga, seseorang mesti pernah melalui tahapan mengalami (experiencing),
mencoba-coba (experimenting), merenungkan (reflection), dan
konseptualisasi (conceptualization). Tidak seperti kebanyakan bidang
ilmu lainnya, matematika justru sarat dengan perenungan dan
konseptualisasi. Namun sayangnya tidak demikian dalam praktek
pengajarannya. Di sekolah dasar, siswa sebaiknya lebih banyak belajar
melalui mencoba-coba dan mengalami. Walaupun demikian, sekali-kali siswa
dapat pula diajak merenungkan mengapa, misalnya, 8 x 6 = 6 x 8,
kemudian dibawa ke konseptualisasi sifat komutatif perkalian dua buah
bilangan, yakni a x b = b x a. Sementara itu di perguruan tinggi,
mahasiswa seharusnya lebih banyak diajak merenungkan dan
konseptualisasi.
Bila diajarkan dengan baik dan benar, matematika sesungguhnya
merupakan mata pelajaran yang melatih siswa kritis, kreatif, berpikir
alternatif, berargumentasi ketat, menyatakan buah pikirannya baik dalam
lisan maupun tulisan secara sistematis, logis, dan lugas. Dalam
matematika juga dapat diajarkan pola berpikir deduktif dan induktif.
Bernalar kontradiktif, guna membuktikan bahwa sesuatu mustahil terjadi,
juga dapat diperkenalkan kepada siswa kelas III SMU atau mahasiswa tahun
pertama. Namun semua ini tidak akan tercapai bila pengajaran matematika
terjebak pada simbol-simbol yang tak bermakna dan tak berguna, sehingga
siswa merasa seperti seorang awam dihadapkan pada sebuah lukisan
abstrak. Walaupun indah, katanya, siapa yang akan mau ‘membelinya’?
Matematika ada bertebaran di sekitar kita, tidak perlu mencari ke
awang-awang nun jauh di sana. Ini yang sering dilupakan oleh para
pengajar matematika, baik di sekolah dasar, sekolah menengah, maupun di
perguruan tinggi. Ketika ini terjadi, maka —lebih parah daripada sains—
matematika akhirnya menjadi sesuatu berisikan simbol-simbol yang tak
bermakna, dengan atau tanpa gambar hias!
0 komentar:
Posting Komentar